GRESIK, Infopol.news – Persidangan lanjutan kasus kecelakaan antara Kereta Api Commuter Line (KACL) Jenggala dengan truk trailer di Pengadilan Negeri Gresik terus berlanjut dan menghadirkan sorotan tajam terhadap kondisi perlintasan sebidang tanpa penjaga.
Fokus persidangan kali ini tidak hanya tertuju pada pengemudi truk sebagai terdakwa, melainkan juga pada kondisi perlintasan JPL 11 KM 7+600 di Desa Tenggulunan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, lokasi kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya Asisten Masinis Abdillah Ramdan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Arni Mufida Thalib, masinis kereta, Purwo Pranoto, memberikan kesaksian penting. Ia menyatakan bahwa saat kecelakaan terjadi, palang pintu perlintasan dalam keadaan terbuka dan tidak dijaga petugas.
Kesaksian ini menjadi poin penting dalam pembelaan tim penasihat hukum terdakwa, Majuri. Tim penasihat hukum yang terdiri dari Rama Dhanikusuma SH MH, Roniko Putra SH MH, Sanih Mafadi SH MH, dan Argie Wilson SH MH dari RAS Lawfirm, menyoroti tanggung jawab penyelenggara sarana dan prasarana transportasi.
Rama Dhanikusuma mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor PM 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan di Perlintasan Sebidang. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa perlintasan sebidang harus dilengkapi dengan palang dan petugas penjaga.
“Jika perlintasan JPL 11 dijaga sesuai ketentuan, kecelakaan yang merenggut korban jiwa ini kemungkinan besar bisa dihindari,” ujar Rama.
Senada dengan itu, anggota tim kuasa hukum lainnya, Roniko dan Sanih, menekankan bahwa kejadian ini harus menjadi evaluasi bagi instansi terkait, baik Kementerian Perhubungan melalui Dinas Perhubungan daerah maupun PT Kereta Api Indonesia (KAI), untuk memastikan keselamatan di setiap perlintasan aktif.
Argie Wilson SH MH juga menyampaikan bahwa dalam konteks hukum, ketidakhadiran fasilitas keselamatan di perlintasan dapat menimbulkan tanggung jawab hukum bagi pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengamanan perlintasan tersebut.
Dalam kesaksiannya, Masinis Purwo Pranoto menyebut bahwa lokasi JPL 11 memang terdaftar secara resmi, namun ia tidak mengetahui secara pasti siapa yang berwenang mengelolanya—apakah KAI atau Dinas Perhubungan. Ia menyatakan bahwa dirinya telah mengemudikan kereta sesuai prosedur operasional standar, dengan kecepatan aman sekitar 30–40 km/jam, tanpa menggunakan ponsel maupun merokok.
Namun, ia juga mengungkapkan bahwa jarak pandangnya terbatas karena posisi tikungan sebelum JPL 11 yang menimbulkan blindspot. Hal ini semakin menyulitkan upaya pencegahan kecelakaan, terutama saat tidak ada sinyal atau petugas yang menginformasikan keberadaan kendaraan di lintasan.
Sebagai pembanding, ia menyebut JPL 14 yang terletak sekitar 1 kilometer dari lokasi kejadian memiliki penjaga dan dianggap lebih aman. Ia juga menambahkan bahwa dari tujuh perlintasan antara Stasiun Indro hingga Kandangan, tidak semuanya dilengkapi dengan penjaga.
Sidang masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan saksi dan mendalami tanggung jawab hukum atas pengelolaan perlintasan. Kasus ini diharapkan menjadi momentum evaluasi serius terhadap keselamatan di perlintasan sebidang yang hingga kini masih menjadi titik rawan kecelakaan. (Masbay)