Surabaya,Infopol.news – Layanan di kantor SAMSAT Surabaya Selatan (Ketintang) kembali dikeluhkan warga. Seorang warga Kelurahan Semampir, Surabaya, merasa diperlakukan tidak adil saat mengurus penggantian pelat nomor kendaraan lima tahunan. Warga tersebut, bernama Aba Huri (68), menyatakan kekecewaannya karena harus menunggu lama sejak pagi, sementara beberapa orang yang diduga sebagai calo justru mendapat pelayanan lebih cepat.

Aba Huri, 68 Tahun
“Saya datang dari jam delapan pagi, niatnya mau urus ganti pelat karena kendaraan sudah lima tahun. Tapi lama nggak dilayani. Saya lihat ada orang-orang yang datang belakangan, kayaknya calo, kok malah langsung masuk dan cepat diproses,” ujarnya.
Kantor SAMSAT Ketintang berada di bawah naungan Ditlantas Polda Jawa Timur, dan bertugas melayani administrasi kendaraan untuk wilayah Surabaya Selatan. Sayangnya, pengalaman seperti yang dialami Aba Huri bukanlah hal baru. Masyarakat kerap menduga adanya praktik percaloan yang tidak hanya merugikan warga, tetapi juga merusak citra institusi.
Bila benar terjadi, praktik semacam itu bertentangan dengan prinsip-prinsip pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk memberikan pelayanan yang cepat, adil, dan tidak diskriminatif. Adanya perbedaan perlakuan antara warga umum dengan mereka yang membawa “jalur belakang” atau perantara merupakan bentuk maladministrasi.
Selain itu, praktik pembiaran terhadap calo, apalagi jika melibatkan oknum aparat, juga melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang secara tegas melarang pejabat publik menerima atau memberi keuntungan pribadi melalui jabatan.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, pihak SAMSAT Surabaya Selatan belum memberikan keterangan resmi. Media ini telah berupaya meminta konfirmasi dari Humas Ditlantas Polda Jatim, namun belum mendapat tanggapan.
Warga berharap aparat kepolisian segera mengambil langkah tegas dengan melakukan evaluasi internal, pengawasan melekat terhadap praktik pelayanan di loket, serta membuka ruang aduan publik yang transparan. Pemasangan sistem antrean elektronik, kamera pengawas yang aktif, dan penertiban terhadap praktik percaloan dinilai sebagai langkah minimum yang harus segera dilakukan.
“Kami warga biasa taat bayar pajak dan ikuti aturan. Tapi kalau dipersulit dan yang kayak calo malah didahulukan, ini menyakitkan. Saya harap atasan para petugas itu tahu dan mau membenahi,” ujar Aba Huri dengan nada kecewa.
Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik terhadap institusi negara dibangun dari hal-hal sederhana, seperti rasa keadilan saat mengantre dan kesetaraan dalam pelayanan. Bila kondisi seperti ini terus dibiarkan, bukan hanya kinerja lembaga yang tercoreng, tetapi wibawa kepolisian sebagai pelayan masyarakat juga akan merosot di mata publik. (Masbay)