Surabaya, Infopol.news – Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gaya hidup sehat, sebuah komunitas senam bernama Senam Dahlan Iskan (SDI) cabang Kebraon, Surabaya, menunjukkan bahwa olahraga bisa menjadi alat perubahan sosial. Pada Minggu, 7 September 2025, ratusan warga memadati Taman Grand Harvest, Wiyung, dalam rangka memperingati ulang tahun kedua komunitas ini.
Namun, di balik semaraknya acara yang dimulai sejak pukul 06.00 WIB itu, muncul pertanyaan penting: sejauh mana keberadaan SDI Kebraon benar-benar berkontribusi terhadap perubahan pola hidup masyarakat?
Lebih dari Sekadar Olahraga
Senam pagi yang dipimpin instruktur lokal menjadi pembuka acara. Wajah-wajah antusias terlihat jelas, namun liputan ini menelusuri lebih jauh. Apakah kegiatan rutin ini hanya simbolik, atau memang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian warga?
Menurut sejumlah peserta yang diwawancarai secara acak, mereka tidak hanya datang karena senam atau doorprize. “Kalau bukan karena SDI, saya mungkin masih jarang keluar rumah. Ini bukan cuma soal olahraga, tapi juga soal punya teman,” ujar Siti Aminah, peserta dari RW 04 Kebraon.
Penelusuran kami menemukan bahwa SDI Kebraon memang aktif mengadakan senam rutin di berbagai titik, dan gratis. Namun, apakah keberlanjutan program ini terjamin?
Peran Tokoh dan Strategi Sosial
Dalam sambutannya, H. Choirul Shodiq, pimpinan SDI Kebraon yang juga merupakan Direktur Utama SKH Memorandum, menyampaikan apresiasinya kepada Dahlan Iskan sebagai inspirator gerakan ini.
“Kami ingin terus mengajak masyarakat untuk peduli pada kesehatan. Senam ini menjadi jembatan untuk membangun komunitas yang kuat,” katanya.
Namun keterlibatan tokoh publik dalam kegiatan komunitas seperti ini juga menimbulkan pertanyaan etis. Apakah ada potensi konflik kepentingan antara peran sebagai pimpinan media dan sebagai penggerak komunitas sosial? Sejumlah pengamat yang kami hubungi menyebut bahwa penting untuk menjaga transparansi dan batasan dalam fungsi ganda tersebut.
Mengatasi “Mager”: Klaim dan Realita
Salah satu penggagas, Misbahul Huda, menyebut bahwa SDI berhasil “mengatasi budaya malas bergerak” dengan menghadirkan senam di lokasi-lokasi strategis.
Namun investigasi lapangan menunjukkan bahwa tidak semua titik berlangsung konsisten. Di wilayah RW 05, misalnya, program sempat terhenti selama dua bulan karena keterbatasan instruktur.
Meski demikian, sebagian besar warga tetap menganggap keberadaan SDI sebagai hal positif. “Daripada kami ke puskesmas karena hipertensi, lebih baik senam tiap minggu,” ujar Sugeng, warga senior yang rutin hadir.
Senam, Hadiah, dan Harapan
Perayaan kali ini juga diisi dengan pembagian doorprize, sembako, hingga hadiah utama berupa sepeda. Namun, apakah hadiah-hadiah ini menjadi motivasi utama warga untuk hadir?
“Kami datang karena senang suasananya. Hadiah cuma bonus,” klaim beberapa peserta. Namun pengamat perilaku sosial dari Universitas Airlangga yang kami wawancarai mengatakan bahwa “insentif semacam itu bisa mendorong partisipasi awal, tapi tidak menjamin keterlibatan jangka panjang.”
Kesimpulan: Antara Gaya Hidup dan Gerakan Sosial
Dua tahun perjalanan SDI Kebraon menunjukkan bahwa olahraga bisa menjadi alat pemberdayaan sosial. Namun keberhasilan sejati komunitas ini akan ditentukan oleh kemampuannya bertahan tanpa ketergantungan pada insentif material, serta transparansi pengelolaan yang bebas dari kepentingan pribadi atau politis.
SDI Kebraon telah menyalakan api semangat hidup sehat — namun untuk menjaganya tetap menyala, dibutuhkan lebih dari sekadar acara meriah setahun sekali.