Sidoarjo, 22 Juli 2025, Infopol.news — Sudah lebih dari enam bulan berlalu sejak keluarga melaporkan dugaan persetubuhan terhadap anak di bawah umur ke Polresta Sidoarjo. Namun, hingga kini, tidak ada tanda-tanda bahwa terlapor, seorang pemuda berinisial B, telah ditetapkan sebagai tersangka maupun diamankan. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan mendalam dan penyesalan dari pihak keluarga korban.
Korban, sebut saja Sekar (16), adalah siswi kelas 1 SMA di wilayah Geluran, Taman, Sidoarjo. Ia menjalin hubungan asmara dengan B (18), yang dikenalnya melalui media sosial. Hubungan itu berkembang menjadi kedekatan fisik yang berujung pada kehamilan. Sayangnya, hubungan ini berlangsung tanpa sepengetahuan orang tua, dan baru diketahui setelah Sekar hamil dan kemudian melahirkan seorang bayi perempuan.
Pihak keluarga, merasa terpukul dan tidak mendapatkan keadilan, melaporkan kasus ini ke Polresta Sidoarjo pada 6 Januari 2025. Namun hingga kini, status terlapor masih belum jelas, sementara Sekar dan bayinya harus menjalani kehidupan dengan stigma sosial dan trauma psikologis yang berat.
Kekecewaan semakin dalam karena menurut keluarga, keberadaan terlapor masih terpantau di sekitar tempat tinggalnya di kawasan Geluran, Taman, Sidoarjo. Namun, aparat belum mengambil langkah hukum yang tegas.
Menanggapi pertanyaan publik mengenai lambannya penanganan kasus ini, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Jules Abraham S.I.K. menjelaskan bahwa salah satu dasar untuk menaikkan status perkara ke tahap tersangka adalah pembuktian unsur melalui tes DNA.
“Dalam kasus seperti ini, tes DNA sangat penting sebagai alat bukti ilmiah untuk memastikan hubungan biologis antara bayi dan terlapor. Ini menjadi pembuktian kunci sebelum menaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan,” ungkap Jules Abraham.
Meski demikian, keluarga korban merasa proses ini terlalu lama dan belum menunjukkan progres berarti.
Secara hukum, kasus ini seharusnya dapat diproses berdasarkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002), yang menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap Anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Tambahan hukuman bisa dijatuhkan jika pelaku termasuk orang dekat, melakukan kekerasan, mengulangi perbuatan, atau menyebabkan dampak berat terhadap korban. Sanksi tambahan dapat berupa pengumuman identitas pelaku dan hukuman kebiri kimia, sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2016.
Hingga kini, Sekar telah dikeluarkan dari sekolah, sementara bayi hasil hubungan tersebut kini berusia enam bulan. Kondisi ini menyisakan luka dan beban berat bagi keluarga korban, yang berharap pihak kepolisian bertindak cepat dan tidak membiarkan pelaku berkeliaran bebas.
“Kami tidak ingin siapa pun mengalami hal seperti ini. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan,” ujar ayah Sekar dengan nada penuh harap. (Masbay)