JAKARTA, infopol.news – Dalam momentum Hari Narkotika Internasional yang diperingati setiap 26 Juni, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) kembali menyerukan agar pemerintah dan DPR RI menempatkan pendekatan kesehatan sebagai inti dari kebijakan narkotika di Indonesia. Hal ini terutama penting dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tengah berjalan.
JRKN menilai bahwa pendekatan represif yang selama ini diterapkan—seperti pemidanaan terhadap pengguna narkotika—telah menimbulkan dampak sistemik, mulai dari kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, pelanggaran hak asasi manusia, hingga terbatasnya akses pemulihan berbasis kesehatan bagi pengguna.
Mengacu pada data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), per Juni 2025 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 268.718 orang, jauh melampaui kapasitas ideal sebanyak 138.128 orang. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya merupakan narapidana atau tahanan kasus narkotika. JRKN menyoroti bahwa sebagian besar dari mereka adalah pengguna, bukan pengedar, yang membutuhkan dukungan pemulihan alih-alih hukuman penjara.
“Selama dua dekade terakhir, kebijakan narkotika di Indonesia cenderung menekankan pendekatan pemidanaan. Padahal, berbagai studi dan praktik internasional menunjukkan bahwa pendekatan kesehatan jauh lebih efektif dalam menangani ketergantungan narkotika,” demikian pernyataan resmi JRKN, Kamis (26/6).
Usulan Perubahan
JRKN mengusulkan tujuh poin penting yang dapat menjadi pertimbangan dalam proses revisi UU Narkotika:
- Perubahan Paradigma Kebijakan
Revisi UU Narkotika diharapkan menggeser fokus dari pemidanaan ke layanan kesehatan. Dengan demikian, pengguna narkotika dapat mengakses rehabilitasi berbasis bukti tanpa harus menjalani hukuman pidana. - Dekriminalisasi Pengguna
JRKN menyarankan agar pengguna narkotika untuk konsumsi pribadi tidak lagi dijerat hukum pidana. Pendekatan ini telah diterapkan di berbagai negara dan terbukti menurunkan angka overdosis serta mendorong partisipasi dalam program rehabilitasi sukarela. - Pemanfaatan Narkotika untuk Kesehatan dan Riset
Revisi UU perlu mengatur secara khusus pemanfaatan narkotika untuk keperluan medis dan ilmiah, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan regulasi ketat. - Penguatan Akuntabilitas Penegakan Hukum
JRKN menilai perlu adanya pembatasan dan pengawasan yang jelas terhadap praktik penyidikan, termasuk pembelian terselubung dan tes urine, agar tidak disalahgunakan. - Alternatif Pemulihan yang Lebih Luas
Pemerintah didorong membuka pilihan intervensi selain pemidanaan dan rehabilitasi rawat inap. Program berbasis harm reduction atau pengurangan dampak buruk menjadi salah satu pendekatan yang dinilai lebih efektif. - Pelibatan Masyarakat Sipil dan Akademisi
Dalam penyusunan kebijakan, pemerintah dan DPR diharapkan membuka ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat sipil, praktisi, dan akademisi agar regulasi yang lahir berbasis bukti dan kebutuhan masyarakat. - Tindak Lanjut Riset Ganja Medis
JRKN mendorong pemerintah menjalankan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XVIII/2020, yang menginstruksikan riset terkait ganja medis. Provinsi Aceh disebut dapat menjadi lokasi percontohan riset ini, sejalan dengan inisiatif lokal yang telah berjalan.
Dukungan dari Berbagai Organisasi
JRKN merupakan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 24 organisasi, termasuk ICJR, LBH Masyarakat, Rumah Cemara, PKNI, dan LeIP. Koalisi ini telah lama mendorong reformasi kebijakan narkotika agar lebih mengedepankan perlindungan hak asasi manusia, pendekatan berbasis bukti ilmiah, serta mendukung sistem hukum dan kesehatan yang inklusif.
“Revisi UU Narkotika merupakan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat komitmen terhadap perlindungan HAM dan pembangunan sistem kesehatan yang adil. Kami berharap DPR dan pemerintah benar-benar mendengarkan suara publik,” tutup JRKN dalam pernyataannya.